...menggali Direktorat Jenderal Kekayaan Negara lebih dalam dari sudut pandang ilmu hukum
Minggu, 29 November 2009
" 10 "
Sekilas
Senyum itu tampak menarik
Dua kilas
Aku mencoba memaknainya
Tiga kilas
Aku hanyut di dalamnya
Empat kilas
Aku mulai berani memimpikannya
Lima kilas
Aku menggapai dan mencicipinya
Enam kilas
Aku menangkap kesan tidak menantang
Tujuh kilas
Aku dihinggapi rasa bosan
Delapan kilas
Sungguh memuakkan!
Sembilan kilas
Perlahan aku meninggalkannya
Sepuluh kilas
Aku mengucapkan
“Farewell”
Sambil menitikkan air mata
dan merenungkan
Cukupkah aku bermain sampai di angka sepuluh saja?
Jakarta, First of Dec' 09
Too old to play
*sigh*
Selasa, 24 November 2009
Gelisah Bila Berhenti Menulis
Banyak orang (teman2ku, -red.) yang bertanya padaku, "Mengapa berhenti blogging? Kuperhatikan blogmu tidak memiliki produk baru akhir2 ini!"
Sebagian lagi berteriak2, "Keep blogging!"
Oke, cukup!
Aku akan memulai menciptakan produk (tulisan) lagi sekarang!
Dan aku tetap menyimpan harapan bahwa tulisan-tulisanku dapat menjadi jendela kecil bagi dunia, untuk memandang sesuatu dari perspektif yang lebih tajam dan berbeda, bukan untuk mencari kerukunan di antara anggapan-anggapan yang berbeda.
Berani menerima perbedaan dan ketidakcocokan.
Itulah dasar toleransi, yang akan membuat kita memeluk kebaikan tanpa kecurigaan, menjadi berani tanpa fanatisme, hidup dengan kecerdasan tanpa keraguan, serta memupuk harapan tanpa selimut khayalan.
Lyd
Sebagian lagi berteriak2, "Keep blogging!"
Oke, cukup!
Aku akan memulai menciptakan produk (tulisan) lagi sekarang!
Dan aku tetap menyimpan harapan bahwa tulisan-tulisanku dapat menjadi jendela kecil bagi dunia, untuk memandang sesuatu dari perspektif yang lebih tajam dan berbeda, bukan untuk mencari kerukunan di antara anggapan-anggapan yang berbeda.
Berani menerima perbedaan dan ketidakcocokan.
Itulah dasar toleransi, yang akan membuat kita memeluk kebaikan tanpa kecurigaan, menjadi berani tanpa fanatisme, hidup dengan kecerdasan tanpa keraguan, serta memupuk harapan tanpa selimut khayalan.
Lyd
Mafia Lelang
Lelang sejak lama telah dikenal masyarakat sebagai salah satu sarana jual beli barang, namun tidak diketahui pasti sejak kapan lelang digunakan sebagai cara jual beli. Lelang masuk ke Indonesia seiring dengan kedatangan bangsa Belanda melalui sebuah perusahaan dagang yang disebut Vereenigde Oost indische Compagnie (VOC) tahun 1750. Saat itu, fungsi pelaksanaan lelang adalah sebagai sarana jual beli komoditas teh hasil bumi Indonesia, dimana sistem ini sampai sekarang masih digunakan dalam lelang teh di London.
Dalam perkembangannya di Indonesia saat ini sebagai akibat dari adanya tuntutan masyarakat yang dinamis, lelang mempunyai fungsi yang semakin berkembang yaitu fungsi pelayanan publik, fungsi pelayanan privat, dan fungsi budgetter.
Fungsi pelayanan publik dari lelang tercermin pada saat lelang digunakan oleh aparatur Negara dalam rangka pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan barang yang dikuasai Negara, khususnya pada saat dipindahtangankan dengan cara dijual. Penjualan Barang Milik Negara/Daerah dan barang yang dikuasai Negara harus dilakukan secara lelang (vide Pasal 48 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004).
Fungsi pelayanan privat dari pelaksanaan lelang tercermin pada saat lembaga lelang digunakan oleh siapapun yang memiliki barang dan bermaksud menjualnya secara lelang. Dalam fungi pelayanan privat, pelaksanaan lelang dijadikan sarana/ alat untuk memperlancar lalu lintas perdagangan barang.
Dari fungsi pelayanan publik dan privat tersebut pada akhirnya pelaksanaan lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan BPHTB yang berperan sebagai fungsi budgetter.
Perkembangan fungsi-fungsi lelang tersebut di atas menjadikan lelang sebagai sarana jual beli yang semakin hari semakin diminati dan dibutuhkan baik oleh aparatur negara maupun oleh masyarakat luas dewasa ini. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya minat masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan lelang.
Masyarakat yang berminat mengikuti pelaksanaan lelang mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu sebagai Peserta Lelang dengan menyetorkan uang jaminan sesuai peraturan yang berlaku. Semakin banyak masyarakat yang berminat menjadi Peserta Lelang maka peluang terbentuknya harga terbaik akan tercapai dengan mudah. Hal ini disebabkan secara teknis dan psikologis suasanan kompetitif tercipta dengan sendirinya di antara para Peserta Lelang. Pembentukan harga terbaik dengan sendirinya akan menguntungkan Negara, sebab semakin besar harga jual objek lelang maka semakin besar pula penerimaan Negara yang dapat diperoleh, yaitu berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara) dan Penerimaan Pajak (Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan BPHTB).
Perkembangan minat masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan lelang saat ini sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berupaya mengambil keuntungan sendiri dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yang dapat dikategorikan tindakan pelanggaran dan/ atau kejahatan (kriminal).
Para pihak-pihak yang melakukan tindakan seperti ini biasanya dikenal dengan sebutan Mafia Lelang. Tindakan kejahatan dan/atau pelanggaran yang dilakukan oleh Mafia Lelang antara lain berupa tindakan:
1. mempengaruhi Peserta Lelang yang lain untuk tidak mengajukan penawaran atas barang yang dilelang, dengan janji bahwa apabila ia disahkan sebagai Pembeli, akan mengalihkan haknya kepada Peserta Lelang yang lain tersebut atau menentukan kembali pemilik barang yang dilelang dengan cara apapun;
2. mengancam atau menghalang-halangi orang lain untuk mengikuti lelang atau mengajukan penawaran atas barang yang dilelang;
3. mengancam atau menghalang-halangi Pejabat Lelang untuk melaksanakan lelang;
4. mengancam Pejabat Lelang agar mengesahkan dirinya sebagai Pembeli dengan cara yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tindakan pelanggaran dan/atau kejahatan yang dilakukan dalam pelaksanaan lelang tersebut tampaknya diikuti dengan bayangan keuntungan yang cukup besar dan ancaman kegagalan yang juga relatif tinggi, sehingga yang paling siap melakukannya adalah kegiatan terorganisasi.
Yang dimaksud dengan kegiatan terorganisasi di sini adalah bahwa para pelakunya tidak lagi individu yang melakukan pelanggaran atau kejahatan hanya karena melihat kesempatan (opportunistic criminal) ataupun individu-individu yang tergolong amatir alias tidak profesional. Kerja kelompok (terorganisasi) dan perancanaan yang matang semakin mewarnai tindakan ini, sehingga memungkinkan pelanggaran dan/atau kejahatan tersebut berlangsung mulus, tanpa jejak, namun sekaligus menghasilkan keuntungan yang luar biasa. Dapat dikatakan, peningkatan yang pesat dari tindakan Mafia Lelang ini berjalan paralel dengan minat dan kebutuhan masyarakat akan lelang yang juga terus meningkat.
Suatu contoh nyata tindakan Mafia Lelang dalam pelaksanaan lelang, misalnya:
1. Lelang Eksekusi Barang Temuan, Barang Sitaan, dan Barang Rampasan dengan objek lelang berupa Kayu.
Dalam sistem lelang kayu, Mafia Lelang selalu bermain. Harga Penawaran Lelang (HPL) ditetapkan di bawah Harga Jual Dasar (HJD). Jadi harga kayu sebagai objek lelang menjadi sangat murah. Tujuannya adalah agar saat penawaran harganya akan berada di atas HJD. Namun kenyataannya tidaklah berjalan seperti itu. Modusnya, semua Peserta Lelang merupakan satu sindikat. Mereka bisa melakukan berbagai cara agar tidak ada kalangan lain yang dapat menjadi Peserta Lelang, salah satu caranya adalah dengan mengancam atau menghalang-halangi orang lain untuk menjadi Pseserta Lelang. Dengan cara ini mereka bisa mengatur dan mengontrol harga dalam pelaksanaan lelang. Pada akhirnya, pelaksanaan lelang ini pun sangat menguntungkan Mafia Lelang namun di satu sisi sangat merugikan negara.
2. Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan.
Dalam suatu lelang di luar kota, ada suatu tanah yang menjadi objek lelang atas konsekuensi yuridis Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Tanah tersebut terletak di dalam kota dan lokasinya sangat cocok untuk hotel dan sejenisnya. Pemilik tanah tersebut nampaknya tidak rela melepas tanah tersebut dan menginginkan agar tanah tersebut tidak laku terjual dalam pelaksanaan lelang. Pada Lelang pertama dia berhasil mengumpulkan Peserta Lelang yang merupakan sindikat Mafia Lelang. Namun ternyata ada salah seorang Peserta Lelang yang notabene adalah salah seorang pengusaha terkenal dan bukan merupakan anggota dari Mafia Lelang yang mengikuti lelang tersebut. Karena khawatir tanah akan ditawar oleh pengusaha tersebut, maka si Pemilik tanah mengancam si pengusaha dengan cara memerintahkan beberapa anggota Mafia Lelang meletakkan tas di depan pengusaha tersebut dan setelah dibuka ternyata isinya adalah celurit. Tentu saja pengusaha tersebut langsung kabur dan mengurungkan niatnya untuk mengikuti lelang. Sebagai akibatnya tanah tersebut tidak mencapai harga limit dan harus dilelang pada kesempatan berikutnya.
Contoh-contoh di atas hanyalah sedikit contoh dari adanya keterlibatan Mafia Lelang di dalam pelaksanaan lelang. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang dilakukan oleh Mafia Lelang dengan beragam latar belakang dan berbagai motif serta tujuan, yang pada akhirnya tentu saja akan merugikan negara.
Kerugian yang diderita Negara akibat tindakan Mafia Lelang dapat berupa:
1. berkurangnya potensi penerimaan negara baik berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak maupun Penerimaan Negara berupa Pajak;
2. tidak tercapainya harga yang optimal dalam pelaksanaan lelang;
3. mengurangi minat masyarakat untuk berperan serta sebagai Peserta Lelang sebab telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat;
4. terbentuknya image yang buruk tentang pelaksanaan lelang, Pejabat Lelang, Kantor Lelang Negara, dan Balai Lelang Swasta;
5. meningkatkan angka kriminalitas di Indonesia.
Saat ini telah dilakukan berbagai upaya untuk mencegah keterlibatan Mafia Lelang sebagai Peserta Lelang, antara lain pengesahan berbagai regulasi yang meminimalkan keterlibatan Mafia Lelang, salah satunya adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/ Menhut-II/ 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan. Di dalam Pasal 4 dan 5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/ Menhut-II/ 2006 disebutkan bahwa Peserta Lelang hasil hutan kayu dan bukan kayu adalah Perorangan, Badan Usaha yang bergerak di bidang kehutanan, antara lain Anggota Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK), Anggota Real Estate Indonesia (REI), Badan atau Lembaga lain yang bergerak di bidang Kehutanan, antara lain Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Ditambahkan pula ketentuan bahwa Peserta Lelang berupa perorangan hanya dapat mengikuti pelelangan hasil hutan kayu dengan jumlah paling banyak 100 m3 (seratus meter kubik) dan wajib memiliki KTP dan NPWP, sedangkan Peserta Lelang berupa badan usaha dan badan atau lembaga lain dapat mengikuti pelelangan hasil hutan kayu dengan jumlah di atas 100 m3 (seratus meter kubik) serta wajib memiliki Izin usaha/SIUP, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik.
Peraturan tersebut diharapkan dapat meminimalisir keterlibatan Mafia Lelang sebagai Peserta Lelang di dalam pelaksanaan lelang.
Peraturan perundang-undangan yang memuat upaya pencegahan Mafia Lelang saja tentulah belum cukup. Dibutuhkan materi ketentuan yang bukan hanya memuat mengenai pencegahan, melainkan juga materi mengenai sanksi pidana yang tegas bagi Mafia Lelang yang terbukti terlibat di dalam pelaksanaan lelang. Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada Mafia Lelang dapat berupa pidana kurungan, pidana penjara, dan denda.
Landasan hukum pelaksanaan lelang di Indonesia saat ini adalah Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908-189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3. Vendu Reglement yang lahir sebelum adanya Volksraad (semacam DPR pada zaman Hindia Belanda) telah membuat peraturan tersebut menjadi sumber hukum lelang tertinggi yang berlaku di Indonesia. Peraturan ini berlaku hingga saat ini sebagai satu-satunya “undang-undang” yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan lelang di Indonesia.
Vendu Reglement terdiri dari 49 (empat puluh sembilan) pasal, dimana pasal-pasal tersebut sebagian besar sudah tidak berlaku atau tidak dapat dilaksanakan lagi karena merupakan produk hukum pemerintahan kolonial Belanda dan tidak bersumber pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Oleh karena itu, sangat diperlukan sebuah produk Undang-Undang yang mengatur tentang Lelang, dimana di dalamnya terdapat ketentuan mengenai Peserta Lelang dan potensi peranan Mafia Lelang sebagai Peserta Lelang.
Di dalam Vendu Reglement diketahui bahwa belum terdapat materi ataupun aturan mengenai sanksi keterlibatan Mafia Lelang di dalam pelaksanaan lelang. Oleh karena itu, sejalan dengan komitmen Direktorat Lelang dalam menampung berbagai perkembangan hukum, memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang terkait dalam pelaksanaan lelang, dan menampung peranan lelang yang digunakan untuk mengamankan potensi penerimaan negara, maka diharapkan adanya suatu aturan yang tegas mengenai sanksi bagi keterlibatan Mafia Lelang yang kelak dapat dicantumkan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Lelang.
Keterlibatan Mafia Lelang di dalam pelaksanaan lelang sudah sangat merugikan banyak pihak khususnya Negara dalam hal ini, oleh karena itu bangsa ini harus optimis dan tegas agar Mafia Lelang bisa dihentikan.
Lyd
Langganan:
Postingan (Atom)