Minggu, 29 November 2009

" 10 "


Sekilas
Senyum itu tampak menarik

Dua kilas
Aku mencoba memaknainya

Tiga kilas
Aku hanyut di dalamnya

Empat kilas
Aku mulai berani memimpikannya

Lima kilas
Aku menggapai dan mencicipinya

Enam kilas
Aku menangkap kesan tidak menantang

Tujuh kilas
Aku dihinggapi rasa bosan

Delapan kilas
Sungguh memuakkan!

Sembilan kilas
Perlahan aku meninggalkannya

Sepuluh kilas
Aku mengucapkan
“Farewell”

Sambil menitikkan air mata
dan merenungkan
Cukupkah aku bermain sampai di angka sepuluh saja?




Jakarta, First of Dec' 09
Too old to play
*sigh*


Selasa, 24 November 2009

Gelisah Bila Berhenti Menulis


Banyak orang (teman2ku, -red.) yang bertanya padaku, "Mengapa berhenti blogging? Kuperhatikan blogmu tidak memiliki produk baru akhir2 ini!"

Sebagian lagi berteriak2, "Keep blogging!"

Oke, cukup!
Aku akan memulai menciptakan produk (tulisan) lagi sekarang!
Dan aku tetap menyimpan harapan bahwa tulisan-tulisanku dapat menjadi jendela kecil bagi dunia, untuk memandang sesuatu dari perspektif yang lebih tajam dan berbeda, bukan untuk mencari kerukunan di antara anggapan-anggapan yang berbeda.

Berani menerima perbedaan dan ketidakcocokan.
Itulah dasar toleransi, yang akan membuat kita memeluk kebaikan tanpa kecurigaan, menjadi berani tanpa fanatisme, hidup dengan kecerdasan tanpa keraguan, serta memupuk harapan tanpa selimut khayalan.

Lyd

Mafia Lelang



Lelang sejak lama telah dikenal masyarakat sebagai salah satu sarana jual beli barang, namun tidak diketahui pasti sejak kapan lelang digunakan sebagai cara jual beli. Lelang masuk ke Indonesia seiring dengan kedatangan bangsa Belanda melalui sebuah perusahaan dagang yang disebut Vereenigde Oost indische Compagnie (VOC) tahun 1750. Saat itu, fungsi pelaksanaan lelang adalah sebagai sarana jual beli komoditas teh hasil bumi Indonesia, dimana sistem ini sampai sekarang masih digunakan dalam lelang teh di London.

Dalam perkembangannya di Indonesia saat ini sebagai akibat dari adanya tuntutan masyarakat yang dinamis, lelang mempunyai fungsi yang semakin berkembang yaitu fungsi pelayanan publik, fungsi pelayanan privat, dan fungsi budgetter.

Fungsi pelayanan publik dari lelang tercermin pada saat lelang digunakan oleh aparatur Negara dalam rangka pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan barang yang dikuasai Negara, khususnya pada saat dipindahtangankan dengan cara dijual. Penjualan Barang Milik Negara/Daerah dan barang yang dikuasai Negara harus dilakukan secara lelang (vide Pasal 48 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004).

Fungsi pelayanan privat dari pelaksanaan lelang tercermin pada saat lembaga lelang digunakan oleh siapapun yang memiliki barang dan bermaksud menjualnya secara lelang. Dalam fungi pelayanan privat, pelaksanaan lelang dijadikan sarana/ alat untuk memperlancar lalu lintas perdagangan barang.

Dari fungsi pelayanan publik dan privat tersebut pada akhirnya pelaksanaan lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan BPHTB yang berperan sebagai fungsi budgetter.

Perkembangan fungsi-fungsi lelang tersebut di atas menjadikan lelang sebagai sarana jual beli yang semakin hari semakin diminati dan dibutuhkan baik oleh aparatur negara maupun oleh masyarakat luas dewasa ini. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya minat masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan lelang.

Masyarakat yang berminat mengikuti pelaksanaan lelang mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu sebagai Peserta Lelang dengan menyetorkan uang jaminan sesuai peraturan yang berlaku. Semakin banyak masyarakat yang berminat menjadi Peserta Lelang maka peluang terbentuknya harga terbaik akan tercapai dengan mudah. Hal ini disebabkan secara teknis dan psikologis suasanan kompetitif tercipta dengan sendirinya di antara para Peserta Lelang. Pembentukan harga terbaik dengan sendirinya akan menguntungkan Negara, sebab semakin besar harga jual objek lelang maka semakin besar pula penerimaan Negara yang dapat diperoleh, yaitu berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara) dan Penerimaan Pajak (Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan BPHTB).

Perkembangan minat masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan lelang saat ini sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berupaya mengambil keuntungan sendiri dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yang dapat dikategorikan tindakan pelanggaran dan/ atau kejahatan (kriminal).

Para pihak-pihak yang melakukan tindakan seperti ini biasanya dikenal dengan sebutan Mafia Lelang. Tindakan kejahatan dan/atau pelanggaran yang dilakukan oleh Mafia Lelang antara lain berupa tindakan:
1. mempengaruhi Peserta Lelang yang lain untuk tidak mengajukan penawaran atas barang yang dilelang, dengan janji bahwa apabila ia disahkan sebagai Pembeli, akan mengalihkan haknya kepada Peserta Lelang yang lain tersebut atau menentukan kembali pemilik barang yang dilelang dengan cara apapun;
2. mengancam atau menghalang-halangi orang lain untuk mengikuti lelang atau mengajukan penawaran atas barang yang dilelang;
3. mengancam atau menghalang-halangi Pejabat Lelang untuk melaksanakan lelang;
4. mengancam Pejabat Lelang agar mengesahkan dirinya sebagai Pembeli dengan cara yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tindakan pelanggaran dan/atau kejahatan yang dilakukan dalam pelaksanaan lelang tersebut tampaknya diikuti dengan bayangan keuntungan yang cukup besar dan ancaman kegagalan yang juga relatif tinggi, sehingga yang paling siap melakukannya adalah kegiatan terorganisasi.

Yang dimaksud dengan kegiatan terorganisasi di sini adalah bahwa para pelakunya tidak lagi individu yang melakukan pelanggaran atau kejahatan hanya karena melihat kesempatan (opportunistic criminal) ataupun individu-individu yang tergolong amatir alias tidak profesional. Kerja kelompok (terorganisasi) dan perancanaan yang matang semakin mewarnai tindakan ini, sehingga memungkinkan pelanggaran dan/atau kejahatan tersebut berlangsung mulus, tanpa jejak, namun sekaligus menghasilkan keuntungan yang luar biasa. Dapat dikatakan, peningkatan yang pesat dari tindakan Mafia Lelang ini berjalan paralel dengan minat dan kebutuhan masyarakat akan lelang yang juga terus meningkat.

Suatu contoh nyata tindakan Mafia Lelang dalam pelaksanaan lelang, misalnya:
1. Lelang Eksekusi Barang Temuan, Barang Sitaan, dan Barang Rampasan dengan objek lelang berupa Kayu.
Dalam sistem lelang kayu, Mafia Lelang selalu bermain. Harga Penawaran Lelang (HPL) ditetapkan di bawah Harga Jual Dasar (HJD). Jadi harga kayu sebagai objek lelang menjadi sangat murah. Tujuannya adalah agar saat penawaran harganya akan berada di atas HJD. Namun kenyataannya tidaklah berjalan seperti itu. Modusnya, semua Peserta Lelang merupakan satu sindikat. Mereka bisa melakukan berbagai cara agar tidak ada kalangan lain yang dapat menjadi Peserta Lelang, salah satu caranya adalah dengan mengancam atau menghalang-halangi orang lain untuk menjadi Pseserta Lelang. Dengan cara ini mereka bisa mengatur dan mengontrol harga dalam pelaksanaan lelang. Pada akhirnya, pelaksanaan lelang ini pun sangat menguntungkan Mafia Lelang namun di satu sisi sangat merugikan negara.

2. Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan.
Dalam suatu lelang di luar kota, ada suatu tanah yang menjadi objek lelang atas konsekuensi yuridis Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Tanah tersebut terletak di dalam kota dan lokasinya sangat cocok untuk hotel dan sejenisnya. Pemilik tanah tersebut nampaknya tidak rela melepas tanah tersebut dan menginginkan agar tanah tersebut tidak laku terjual dalam pelaksanaan lelang. Pada Lelang pertama dia berhasil mengumpulkan Peserta Lelang yang merupakan sindikat Mafia Lelang. Namun ternyata ada salah seorang Peserta Lelang yang notabene adalah salah seorang pengusaha terkenal dan bukan merupakan anggota dari Mafia Lelang yang mengikuti lelang tersebut. Karena khawatir tanah akan ditawar oleh pengusaha tersebut, maka si Pemilik tanah mengancam si pengusaha dengan cara memerintahkan beberapa anggota Mafia Lelang meletakkan tas di depan pengusaha tersebut dan setelah dibuka ternyata isinya adalah celurit. Tentu saja pengusaha tersebut langsung kabur dan mengurungkan niatnya untuk mengikuti lelang. Sebagai akibatnya tanah tersebut tidak mencapai harga limit dan harus dilelang pada kesempatan berikutnya.

Contoh-contoh di atas hanyalah sedikit contoh dari adanya keterlibatan Mafia Lelang di dalam pelaksanaan lelang. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang dilakukan oleh Mafia Lelang dengan beragam latar belakang dan berbagai motif serta tujuan, yang pada akhirnya tentu saja akan merugikan negara.

Kerugian yang diderita Negara akibat tindakan Mafia Lelang dapat berupa:
1. berkurangnya potensi penerimaan negara baik berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak maupun Penerimaan Negara berupa Pajak;
2. tidak tercapainya harga yang optimal dalam pelaksanaan lelang;
3. mengurangi minat masyarakat untuk berperan serta sebagai Peserta Lelang sebab telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat;
4. terbentuknya image yang buruk tentang pelaksanaan lelang, Pejabat Lelang, Kantor Lelang Negara, dan Balai Lelang Swasta;
5. meningkatkan angka kriminalitas di Indonesia.

Saat ini telah dilakukan berbagai upaya untuk mencegah keterlibatan Mafia Lelang sebagai Peserta Lelang, antara lain pengesahan berbagai regulasi yang meminimalkan keterlibatan Mafia Lelang, salah satunya adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/ Menhut-II/ 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan. Di dalam Pasal 4 dan 5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/ Menhut-II/ 2006 disebutkan bahwa Peserta Lelang hasil hutan kayu dan bukan kayu adalah Perorangan, Badan Usaha yang bergerak di bidang kehutanan, antara lain Anggota Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK), Anggota Real Estate Indonesia (REI), Badan atau Lembaga lain yang bergerak di bidang Kehutanan, antara lain Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Ditambahkan pula ketentuan bahwa Peserta Lelang berupa perorangan hanya dapat mengikuti pelelangan hasil hutan kayu dengan jumlah paling banyak 100 m3 (seratus meter kubik) dan wajib memiliki KTP dan NPWP, sedangkan Peserta Lelang berupa badan usaha dan badan atau lembaga lain dapat mengikuti pelelangan hasil hutan kayu dengan jumlah di atas 100 m3 (seratus meter kubik) serta wajib memiliki Izin usaha/SIUP, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik.
Peraturan tersebut diharapkan dapat meminimalisir keterlibatan Mafia Lelang sebagai Peserta Lelang di dalam pelaksanaan lelang.

Peraturan perundang-undangan yang memuat upaya pencegahan Mafia Lelang saja tentulah belum cukup. Dibutuhkan materi ketentuan yang bukan hanya memuat mengenai pencegahan, melainkan juga materi mengenai sanksi pidana yang tegas bagi Mafia Lelang yang terbukti terlibat di dalam pelaksanaan lelang. Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada Mafia Lelang dapat berupa pidana kurungan, pidana penjara, dan denda.

Landasan hukum pelaksanaan lelang di Indonesia saat ini adalah Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908-189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3. Vendu Reglement yang lahir sebelum adanya Volksraad (semacam DPR pada zaman Hindia Belanda) telah membuat peraturan tersebut menjadi sumber hukum lelang tertinggi yang berlaku di Indonesia. Peraturan ini berlaku hingga saat ini sebagai satu-satunya “undang-undang” yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan lelang di Indonesia.

Vendu Reglement terdiri dari 49 (empat puluh sembilan) pasal, dimana pasal-pasal tersebut sebagian besar sudah tidak berlaku atau tidak dapat dilaksanakan lagi karena merupakan produk hukum pemerintahan kolonial Belanda dan tidak bersumber pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Oleh karena itu, sangat diperlukan sebuah produk Undang-Undang yang mengatur tentang Lelang, dimana di dalamnya terdapat ketentuan mengenai Peserta Lelang dan potensi peranan Mafia Lelang sebagai Peserta Lelang.

Di dalam Vendu Reglement diketahui bahwa belum terdapat materi ataupun aturan mengenai sanksi keterlibatan Mafia Lelang di dalam pelaksanaan lelang. Oleh karena itu, sejalan dengan komitmen Direktorat Lelang dalam menampung berbagai perkembangan hukum, memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang terkait dalam pelaksanaan lelang, dan menampung peranan lelang yang digunakan untuk mengamankan potensi penerimaan negara, maka diharapkan adanya suatu aturan yang tegas mengenai sanksi bagi keterlibatan Mafia Lelang yang kelak dapat dicantumkan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Lelang.

Keterlibatan Mafia Lelang di dalam pelaksanaan lelang sudah sangat merugikan banyak pihak khususnya Negara dalam hal ini, oleh karena itu bangsa ini harus optimis dan tegas agar Mafia Lelang bisa dihentikan.


Lyd




Jumat, 28 Agustus 2009

A Cat's Diary


Day 751: My captors continue to torment me with bizarre dangling objects. They eat lavish meals in my presence while I am forced to subsist on dry cereal. The only thing that keeps me going is the hope of eventual escape -- that, and the satisfaction I get from occasionally ruining some piece of their furniture.

I fear I may be going insane. Yesterday, I ate a houseplant. Tomorrow I may eat another. (source: http://www.funs.co.uk)


wkwkkwkwkwk..kucing stress,,dampak dari rendahnya keimanan niy,,hahahahahhaha

The Stairs


Bill, Jim, and Scott were at a convention together and were sharing a large suite on the top of a 75 story sky scraper. After a long day of meetings they were shocked to hear that the elevators in their hotel were broken and they would have to climb 75 flights of stairs to get to their room.

Bill said to Jim and Scott, let's break the monotony of this unpleasant task by concentrating on something interesting. I'll tell jokes for 25 flights, and Jim can sing songs for 25 flights, and Scott can tell sad stories the rest of the way.

At the 26th floor Bill stopped telling jokes and Jim began to sing. At the 51st floor Jim stopped singing and Scott began to tell sad stories. "I will tell my saddest story first," he said. "I left the room key in the car!" (source: http://www.funny-stuff-central.com)

"wahh, klo sampe ini beneran kejadian di gw, bakalan gw tabok bolak balik tuh si Scott.
hwahahahahahhahahahahahaha..."

I Know This Lawyer


A small town prosecuting attorney called his first witness to the stand in a trial-a grandmotherly, elderly woman. He approached her and asked, "Mrs. Jones, do you know me?"

She responded, "Yes, I do know you Mr. Williams. I've known you since you were a young boy. And frankly, you've been a big disappointment to me. You lie, you cheat on your wife, you manipulate people and talk about them behind their backs.

You think you're a rising big shot when you haven't the brains to realize you never will amount to anything more than a two-bit paper pusher. Yes, I know you."

The lawyer was stunned. Not knowing what else to do he pointed across the room and asked, "Mrs. Williams, do you know the defense attorney?"

She again replied, "Why, yes I do. I've known Mr. Bradley since he was a youngster, too. I used to baby-sit him for his parents. And he, too, has been a real disappointment to me. He's lazy, bigoted, he has a drinking problem. The man can't build a normal relationship with anyone and his law practice is one of the shoddiest in the entire state. Yes, I know him."

At this point, the judge rapped the courtroom to silence and called both counselors to the bench. In a very quiet voice, he said with menace, "If either of you asks her if she knows me, you'll be in jail within 3 minutes!"


(source: http://www.onlyfunnystories.com)

Senin, 10 Agustus 2009

Asas-Asas dalam Pelaksanaan Lelang


Untuk mewujudkan optimalisasi hasil lelang, diperlukan pelaksanaan lelang yang efisien, adil, terbuka, dan akuntabel. Dalam rangka memenuhi hal tersebut, setiap pelaksanaan lelang harus selalu memperhatikan asas keterbukaan, asas keadilan, asas kepastian hukum, asas efisiensi dan asas akuntabilitas.


  • Asas Keterbukaan
Asas keterbukaan : asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara (vide Penjelasan Pasal 3 angka 4 UU No. 28 Tahun 1999).

Asas ini dipenuhi oleh ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lelang yang menentukan bahwa setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan PENGUMUMAN LELANG.

Pe
ngumuman lelang berperan sebagai sumber bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pelaksanaan lelang.

  • Asas Keadilan
Mengenai tujuan hukum pada umumnya, Aristoteles yang telah terkenal dalam bukunya yang berjudul Rhetorica, menganggap bahwa hukum bertugas membuat adanya keadilan. Tujuan Undang-Undang Lelang adalah membuat adanya keadilan dalam pelaksanaan lelang.

Dalam proses pelaksanaan lelang harus memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan dan diberlakukan sama kepada masyarakat pengguna jasa lelang.

Asas ini menghendaki para pihak memenuhi dan melaksanakan isi lelang yang tercantum dalam Risalah Lelang, yang mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi secara adil dari para pihak dan memikul kewajiban untuk melaksanakan isi Risalah Lelang itu dengan itikad baik (good faith).

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian itikad baik adalah “in or with good faith; honestly, openly, and sincerely; without deceit or fraud. Truly; actually; without simulation or pretense”.

Bukan hanya ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Risalah Lelang yang wajib ditaati oleh para pihak, melainkan juga itikad baik sebagai ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, yaitu kepatutan, kejujuran, tanpa tipu muslihat, dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi pihak-pihak lain.

  • Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum: adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara (vide: Penjelasan Pasal 3 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999).

Dalam setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik peralihan hak (acta van transport) atas barang sekaligus sebagai alas hak penyerahan barang.

Tanpa Risalah Lelang, pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh Pejabat Lelang tidak sah (invalid). Pelaksanaan lelang yang demikian tidak memberi kepastian hukum tentang hal-hal yang terjadi, karena apa yang terjadi tidak tercatat secara jelas sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian.
Oleh karena itu, Risalah Lelang sebagai figur hukum yang mengandung kepastian hukum harus diaktualisasikan dengan tegas dalam undang-undang yang mengatur tentang lelang.

  • Asas Efisiensi
Asas efisiensi dalam lelang akan memberikan jaminan pelayanan penjualan dengan cepat dan mudah karena dilakukan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan, pengesahan sebagai Pembeli dilakukan pada saat itu juga, dan penyelesaian pembayaran dilakukan secara tunai serta biaya yang relatif murah.

Asas efisiensi ini juga akan menjamin pelaksanaan lelang menjadi media terbaik dalam proses jual beli sebab potensi harga terbaik akan lebih mudah dicapai dikarenakan secara teknis dan psikologis suasana kompetitif tercipta dengan sendirinya. Dengan demikian akan terbentuk iklim pelaksanaan lelang yang adil, kondusif, dan berdaya saing.

  • Asas Akuntabilitas
Asas akuntabilitas: adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 3 angka 7 UU No. 28 Tahun 1999).

Dengan demikian, asas ini menghendaki agar lelang yang dilaksanakan dapat dipertanggungjawabkan oleh Pejabat Lelang, Penjual dan Pembeli kepada semua pihak yang berkepentingan dan masyarakat.

Pertanggungjawaban Pejabat Lelang: administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.
Pertanggungjawaban Penjual: dalam rangka penghapusan, pelaksanaan eksekusi, atau kepentingan lainnya.
Pertanggungjawaban Pembeli: kewajiban dalam pelunasan pembayaran harga pokok lelang, pembayaran Bea Lelang, dan pembayaran pajak-pajak yang dikenakan atas pelaksanaan lelang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------

;) hheemmmm, klo RUU Lelang mematuhi asas2 ini, pasti lelang akan semakin banyak diminati oleh masyarakat. Kita doakan saja yah...yah...yah...



Selasa, 28 Juli 2009

Sejarah Lelang di Indonesia


Lelang sejak lama telah dikenal masyarakat sebagai salah satu sarana jual beli barang namun tidak diketahui pasti sejak kapan lelang digunakan sebagai cara jual beli. Dalam perkembangannya, lelang tidak hanya digunakan sebagai sarana jual beli, tetapi dimanfaatkan untuk alat penegakan hukum (law enforcement).

Lelang masuk ke Indonesia seiring dengan kedatangan bangsa Belanda melalui sebuah perusahaan dagang yang disebut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tahun 1750. Saat itu, VOC menciptakan sistem lelang untuk komoditas teh hasil bumi Indonesia, dimana sistem ini sampai sekarang masih digunakan dalam lelang teh di London[1].

Secara formal, lelang di Indonesia mulai diatur pemerintah Hindia Belanda tahun 1908 yaitu dengan diterbitkannya Vendu Reglement (Ordonansi tanggal 28 Februari 1908 Staatsblad 08-189, mulai berlaku tanggal 1 April 1908). Peraturan ini berlaku hingga saat ini sebagai satu-satunya “undang-undang” yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan lelang di Indonesia. Vendu Reglement yang lahir sebelum adanya Volksraad (semacam DPR pada zaman Hindia Belanda) telah membuat peraturan ini menjadi sumber hukum lelang tertinggi yang berlaku di Indonesia. Proses yang hampir sama juga dialami oleh HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia yang diperbaharui) dimana peraturan ini dianggap sebagai “Undang-Undang” Hukum Acara Perdata di Indonesia hingga saat ini.

Sejak lahirnya Vendu Reglement tahun 1908, unit lelang berada di lingkungan Departemen Keuangan Pemerintah Hindia Belanda (Inspeksi Urusan Lelang) dengan kedudukan dan tanggung jawab langsung di bawah Menteri Keuangan. Kemudian dalam perkembangannya setelah memasuki masa kemerdekaan RI, Unit Lelang Negara ada dalam pembinaan Direktorat Jenderal Pajak (1960) dengan nama Kantor Lelang Negeri dan tahun 1970 diganti nomenklaturnya menjadi Kantor Lelang Negara (KLN). Sejak tanggal 1 April 1990, Unit Lelang Negara bergabung dibawah Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) yang berganti nomenklaturnya menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) pada tahun 2000. Terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 445/PMK.01/2006 tentang Organisasi Departemen Keuangan, DJPLN berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan kantor-kantor operasionalnya berubah menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Pelaksanaan lelang mempunyai fungsi pelayanan publik dan fungsi pelayanan privat. Fungsi pelayanan publik dari Lembaga Lelang tercermin saat digunakan oleh aparatur negara dalam melaksanakan tugas kepemerintahan dalam rangka Penegakan Hukum/Law Enforcement seperti yang diamanatkan dalam berbagai undang-undang, antara lain: KUHAP, KUHPerdata, HIR, UU Panitia Urusan Piutang Negara No. 49 Prp. Tahun 1960, UU Kepabeanan No. 10 Tahun 1995, UU Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996, UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 tahun 1997, UU Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, dan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor 37 tahun 2004.

Fungsi pelayanan publik lainnya tercermin pada saat digunakan oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan barang milik negara/daerah (kekayaan negara), khsusnya pada saat dipindahtangankan dengan cara dijual. Penjualan barang milik negara/daerah (kekayaan negara) harus dilakukan secara lelang. Pilihan penjualan lelang adalah dalam rangka mengamankannya sekaligus guna memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance). Proses ini akan berdampak pada peningkatan efisiensi, tertib administrasi dan keterbukaan (tranparansi) pengelolaan kekayaan negara, serta menjamin akuntabilitas (vide: Pasal 48 UU Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004). Dari dua fungsi pelayanan publik tersebut pada akhirnya Lembaga Lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa PPh Pasal 25 dan BPHTB.

Sementara itu fungsi privat dari Lembaga Lelang tercermin saat lembaga lelang digunakan oleh siapapun yang memiliki barang dan bermaksud menjualnya secara lelang. Dalam fungi privat, Lembaga Lelang menjadi sarana/alat untuk memperlancar lalu lintas perdagangan barang.

Dari fungsi pelayanan publik dan privat tersebut pada akhirnya pelaksanaan lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan BPHTB sebagai fungsi budgetter.
----------------------------------------------------------------------------------------
[1] Kamarinjani., 1978. “Sejarah Perusahaan-perusahaan Teh di Indonesia 1824-1924”: LIPI

Senin, 27 Juli 2009

Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Pelelangan Menurut UUHT No. 4 Tahun 1996


Unsur pokok dari Hak Tanggungan (vide Pasal 1 ayat 1 UUHT No. 1 Tahun 1996) adalah:
  1. Hak Jaminan untuk pelunasan utang;
  2. Objek Hak Tanggungan adalah Hak atas Tanah sesuai UUPA;
  3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas (hak atas) tanahnya saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda2 lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
  4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu;
  5. Memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference) kepada kreditor tertentu terhadap kreditor2 lainnya.

Dari unsur pokok yang pertama dapat kita ketahui bahwa Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitor.
Dengan demikian, apabila debitor cidera janji maka (hak atas) tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang Hak Tanggungan tanpa perlu meminta persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.

Agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara adil dan terbuka (asas keadilan dan asas transparansi), UUHT mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui pelelangan (penjualan di muka umum) menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang berbunyi:

Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a.
hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.


Pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melaksanakan eksekusi tsb. Cukup apabila pemegang Hak Tanggungan pertama itu mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Lelang Negara (Kantor Pemerintah tempat kedudukan Pejabat Lelang Negara) setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut.

Karena kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (dipunyai demi hukum), maka Kepala Kantor Lelang Negara menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut dengan cara melaksanakan pelelangan sesuai dengan ketentuan2 yang berlaku.

(source: Prof.DR.ST.Remy Sjahdeini,SH, Hak Tanggungan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999)

Jumat, 24 Juli 2009

Mengapa Peraturan Lelang Hanya Didasarkan pada Suatu REGLEMENT dan Bukan ORDONANSI?


Aturan Lelang tdd:
  • Vendu Reglement;
  • Vendu Instructie;
  • UU No. 1 Tahun 2004;
  • dll
Vendu Reglement (VR) ini didasarkan atas reglement tgl 28 Februari 1908 yang dimuat dalam Staasblad 1908 No.189, dan mulai berlaku pada tanggal 1 April 1908 sampai dengan sekarang.
Jadi bisa dihitung, usia VR sudah mencapai 101 tahun, yang artinya Lelang sudah dikenal dan dilaksanakan di Indonesia selama 101 tahun.

VR merupakan produk kolonial Belanda sehingga tidak bersumber pada Pancasila, UUD 1945, dan sistem hukum nasional.

Dalam perkembangannya hingga saat ini, VR merupakan satu-satunya "undang-undang" tentang lelang yang mempunyai kedudukan paling tinggi di antara peraturan terkait lainnya.

Pertanyaannya:
"Mengapa Peraturan Lelang itu hanya didasarkan pada suatu Reglement dan bukan Ordonansi?"

Jawabannya:
Pada Tahun 1908 belum dibentuk Volksraad (semacam DPR pada zaman Hindia Belanda tapi tidak penuh mewakili rakyat karena anggota2nya ditunjuk dan tidak dipilih oleh rakyat). Volksraad ini baru dibentuk pada tahun 1926.

Hasil perumusan peraturan perundang-undangan antara Volksraad dengan Gubernur General berbentuk Ordonansi yang dapat disebut/ dianggap sederajat dengan Undang-Undang.

Pada tahun 1908, oleh karena belum ada Volksraad, maka tidak mungkin dibuat suatu Ordonansi, yang mungkin dibuat hanyalah suatu Reglement yang hampir sama dengan Verordening yaitu yang lebih mendekati peraturan yang mengatur prinsip-prinsip dan pokok-pokok. Reglement apabila ditinjau dari segi materinya lebih kurang sama dengan Verordening.

Itulah sebabnya Peraturan Lelang itu hanya didasarkan pada suatu Reglement dan bukan Ordonansi.

source: Prof.DR.H.Rochmat SOemitro,SH, Peraturan dan Instruksi Lelang, Cet.I, (Bandung: PT. Eresco, 1987), hal. 149


Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)


DJKN adalah suatu Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang:
  • kekayaan negara,
  • piutang negara, dan
  • lelang
sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Visi dan Misi DJKN

Visi
"Menjadi Pengelola kekayaan Negara, Piutang Negara dan Lelang yang Bertanggung Jawab untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat".

Misi
  • Mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran dan efektifitas pengelolaan kekayaan negara;
  • Mengamankan kekayaan negara melalui pembangunan database serta penyajian jumlah dan nilai eksisting kekayaan negara;
  • Mewujudkan nilai kekayaan negara yang wajar dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam berbagai keperluan penilaian;
  • Melaksanakan pengurusan piutang negara yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel;
  • Mewujudkan lelang sebagai instrumen jual beli yang mampu mengakomodasikan kepentingan masyarakat.
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
PUPN adalah panitia interdepartemental yang mengurus piutang negara yang berasal dari instansi pemerintah atau badan-badan yang dikuasai oleh negara. Anggota PUPN berasal dari Kantor Departemen Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan, Bank Indonesia, dan Pemerintah Daerah.PUPN Pusat berkedudukan di Jakarta sedangkan PUPN Cabang mempunyai kedudukan di setiap Kantor Operasional.

Hubungan PUPN Dengan DJKN
PUPN Mempunyai wewenang mengurus piutang negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Pelaksanaan produk hukum (putusan) wewenang PUPN dilakukan oleh DJKN yang mempunyai kantor operasional yang dikoordinasi Kantor Wilayah.

Struktur Organisasi DJKN
* Sekretariat;
* Direktorat Barang Milik Negara I;
* Direktorat Barang Milik Negara II;
* Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain;
* Direktorat Penilaian Kekayaan Negara;
* Direktorat Piutang Negara;
* Direktorat Lelang;
* Direktorat Hukum dan Informasi
* Kantor Wilayah;
* Kantor Operasinal.

Tugas Pokok dan Fungsi DJKN

Tugas Pokok :
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Fungsi :
  • Penyiapan perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
  • Pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
  • Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
  • Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
  • Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal
(source: www.djkn.depkeu.go.id)