Selasa, 28 Juli 2009

Sejarah Lelang di Indonesia


Lelang sejak lama telah dikenal masyarakat sebagai salah satu sarana jual beli barang namun tidak diketahui pasti sejak kapan lelang digunakan sebagai cara jual beli. Dalam perkembangannya, lelang tidak hanya digunakan sebagai sarana jual beli, tetapi dimanfaatkan untuk alat penegakan hukum (law enforcement).

Lelang masuk ke Indonesia seiring dengan kedatangan bangsa Belanda melalui sebuah perusahaan dagang yang disebut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tahun 1750. Saat itu, VOC menciptakan sistem lelang untuk komoditas teh hasil bumi Indonesia, dimana sistem ini sampai sekarang masih digunakan dalam lelang teh di London[1].

Secara formal, lelang di Indonesia mulai diatur pemerintah Hindia Belanda tahun 1908 yaitu dengan diterbitkannya Vendu Reglement (Ordonansi tanggal 28 Februari 1908 Staatsblad 08-189, mulai berlaku tanggal 1 April 1908). Peraturan ini berlaku hingga saat ini sebagai satu-satunya “undang-undang” yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan lelang di Indonesia. Vendu Reglement yang lahir sebelum adanya Volksraad (semacam DPR pada zaman Hindia Belanda) telah membuat peraturan ini menjadi sumber hukum lelang tertinggi yang berlaku di Indonesia. Proses yang hampir sama juga dialami oleh HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia yang diperbaharui) dimana peraturan ini dianggap sebagai “Undang-Undang” Hukum Acara Perdata di Indonesia hingga saat ini.

Sejak lahirnya Vendu Reglement tahun 1908, unit lelang berada di lingkungan Departemen Keuangan Pemerintah Hindia Belanda (Inspeksi Urusan Lelang) dengan kedudukan dan tanggung jawab langsung di bawah Menteri Keuangan. Kemudian dalam perkembangannya setelah memasuki masa kemerdekaan RI, Unit Lelang Negara ada dalam pembinaan Direktorat Jenderal Pajak (1960) dengan nama Kantor Lelang Negeri dan tahun 1970 diganti nomenklaturnya menjadi Kantor Lelang Negara (KLN). Sejak tanggal 1 April 1990, Unit Lelang Negara bergabung dibawah Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) yang berganti nomenklaturnya menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) pada tahun 2000. Terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 445/PMK.01/2006 tentang Organisasi Departemen Keuangan, DJPLN berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan kantor-kantor operasionalnya berubah menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Pelaksanaan lelang mempunyai fungsi pelayanan publik dan fungsi pelayanan privat. Fungsi pelayanan publik dari Lembaga Lelang tercermin saat digunakan oleh aparatur negara dalam melaksanakan tugas kepemerintahan dalam rangka Penegakan Hukum/Law Enforcement seperti yang diamanatkan dalam berbagai undang-undang, antara lain: KUHAP, KUHPerdata, HIR, UU Panitia Urusan Piutang Negara No. 49 Prp. Tahun 1960, UU Kepabeanan No. 10 Tahun 1995, UU Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996, UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 tahun 1997, UU Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, dan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor 37 tahun 2004.

Fungsi pelayanan publik lainnya tercermin pada saat digunakan oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan barang milik negara/daerah (kekayaan negara), khsusnya pada saat dipindahtangankan dengan cara dijual. Penjualan barang milik negara/daerah (kekayaan negara) harus dilakukan secara lelang. Pilihan penjualan lelang adalah dalam rangka mengamankannya sekaligus guna memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance). Proses ini akan berdampak pada peningkatan efisiensi, tertib administrasi dan keterbukaan (tranparansi) pengelolaan kekayaan negara, serta menjamin akuntabilitas (vide: Pasal 48 UU Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004). Dari dua fungsi pelayanan publik tersebut pada akhirnya Lembaga Lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa PPh Pasal 25 dan BPHTB.

Sementara itu fungsi privat dari Lembaga Lelang tercermin saat lembaga lelang digunakan oleh siapapun yang memiliki barang dan bermaksud menjualnya secara lelang. Dalam fungi privat, Lembaga Lelang menjadi sarana/alat untuk memperlancar lalu lintas perdagangan barang.

Dari fungsi pelayanan publik dan privat tersebut pada akhirnya pelaksanaan lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan BPHTB sebagai fungsi budgetter.
----------------------------------------------------------------------------------------
[1] Kamarinjani., 1978. “Sejarah Perusahaan-perusahaan Teh di Indonesia 1824-1924”: LIPI

Senin, 27 Juli 2009

Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Pelelangan Menurut UUHT No. 4 Tahun 1996


Unsur pokok dari Hak Tanggungan (vide Pasal 1 ayat 1 UUHT No. 1 Tahun 1996) adalah:
  1. Hak Jaminan untuk pelunasan utang;
  2. Objek Hak Tanggungan adalah Hak atas Tanah sesuai UUPA;
  3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas (hak atas) tanahnya saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda2 lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
  4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu;
  5. Memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference) kepada kreditor tertentu terhadap kreditor2 lainnya.

Dari unsur pokok yang pertama dapat kita ketahui bahwa Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitor.
Dengan demikian, apabila debitor cidera janji maka (hak atas) tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang Hak Tanggungan tanpa perlu meminta persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.

Agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara adil dan terbuka (asas keadilan dan asas transparansi), UUHT mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui pelelangan (penjualan di muka umum) menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang berbunyi:

Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a.
hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.


Pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melaksanakan eksekusi tsb. Cukup apabila pemegang Hak Tanggungan pertama itu mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Lelang Negara (Kantor Pemerintah tempat kedudukan Pejabat Lelang Negara) setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut.

Karena kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (dipunyai demi hukum), maka Kepala Kantor Lelang Negara menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut dengan cara melaksanakan pelelangan sesuai dengan ketentuan2 yang berlaku.

(source: Prof.DR.ST.Remy Sjahdeini,SH, Hak Tanggungan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999)

Jumat, 24 Juli 2009

Mengapa Peraturan Lelang Hanya Didasarkan pada Suatu REGLEMENT dan Bukan ORDONANSI?


Aturan Lelang tdd:
  • Vendu Reglement;
  • Vendu Instructie;
  • UU No. 1 Tahun 2004;
  • dll
Vendu Reglement (VR) ini didasarkan atas reglement tgl 28 Februari 1908 yang dimuat dalam Staasblad 1908 No.189, dan mulai berlaku pada tanggal 1 April 1908 sampai dengan sekarang.
Jadi bisa dihitung, usia VR sudah mencapai 101 tahun, yang artinya Lelang sudah dikenal dan dilaksanakan di Indonesia selama 101 tahun.

VR merupakan produk kolonial Belanda sehingga tidak bersumber pada Pancasila, UUD 1945, dan sistem hukum nasional.

Dalam perkembangannya hingga saat ini, VR merupakan satu-satunya "undang-undang" tentang lelang yang mempunyai kedudukan paling tinggi di antara peraturan terkait lainnya.

Pertanyaannya:
"Mengapa Peraturan Lelang itu hanya didasarkan pada suatu Reglement dan bukan Ordonansi?"

Jawabannya:
Pada Tahun 1908 belum dibentuk Volksraad (semacam DPR pada zaman Hindia Belanda tapi tidak penuh mewakili rakyat karena anggota2nya ditunjuk dan tidak dipilih oleh rakyat). Volksraad ini baru dibentuk pada tahun 1926.

Hasil perumusan peraturan perundang-undangan antara Volksraad dengan Gubernur General berbentuk Ordonansi yang dapat disebut/ dianggap sederajat dengan Undang-Undang.

Pada tahun 1908, oleh karena belum ada Volksraad, maka tidak mungkin dibuat suatu Ordonansi, yang mungkin dibuat hanyalah suatu Reglement yang hampir sama dengan Verordening yaitu yang lebih mendekati peraturan yang mengatur prinsip-prinsip dan pokok-pokok. Reglement apabila ditinjau dari segi materinya lebih kurang sama dengan Verordening.

Itulah sebabnya Peraturan Lelang itu hanya didasarkan pada suatu Reglement dan bukan Ordonansi.

source: Prof.DR.H.Rochmat SOemitro,SH, Peraturan dan Instruksi Lelang, Cet.I, (Bandung: PT. Eresco, 1987), hal. 149


Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)


DJKN adalah suatu Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang:
  • kekayaan negara,
  • piutang negara, dan
  • lelang
sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Visi dan Misi DJKN

Visi
"Menjadi Pengelola kekayaan Negara, Piutang Negara dan Lelang yang Bertanggung Jawab untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat".

Misi
  • Mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran dan efektifitas pengelolaan kekayaan negara;
  • Mengamankan kekayaan negara melalui pembangunan database serta penyajian jumlah dan nilai eksisting kekayaan negara;
  • Mewujudkan nilai kekayaan negara yang wajar dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam berbagai keperluan penilaian;
  • Melaksanakan pengurusan piutang negara yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel;
  • Mewujudkan lelang sebagai instrumen jual beli yang mampu mengakomodasikan kepentingan masyarakat.
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
PUPN adalah panitia interdepartemental yang mengurus piutang negara yang berasal dari instansi pemerintah atau badan-badan yang dikuasai oleh negara. Anggota PUPN berasal dari Kantor Departemen Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan, Bank Indonesia, dan Pemerintah Daerah.PUPN Pusat berkedudukan di Jakarta sedangkan PUPN Cabang mempunyai kedudukan di setiap Kantor Operasional.

Hubungan PUPN Dengan DJKN
PUPN Mempunyai wewenang mengurus piutang negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Pelaksanaan produk hukum (putusan) wewenang PUPN dilakukan oleh DJKN yang mempunyai kantor operasional yang dikoordinasi Kantor Wilayah.

Struktur Organisasi DJKN
* Sekretariat;
* Direktorat Barang Milik Negara I;
* Direktorat Barang Milik Negara II;
* Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain;
* Direktorat Penilaian Kekayaan Negara;
* Direktorat Piutang Negara;
* Direktorat Lelang;
* Direktorat Hukum dan Informasi
* Kantor Wilayah;
* Kantor Operasinal.

Tugas Pokok dan Fungsi DJKN

Tugas Pokok :
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Fungsi :
  • Penyiapan perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
  • Pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
  • Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
  • Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
  • Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal
(source: www.djkn.depkeu.go.id)