Lelang sejak lama telah dikenal masyarakat sebagai salah satu sarana jual beli barang namun tidak diketahui pasti sejak kapan lelang digunakan sebagai cara jual beli. Dalam perkembangannya, lelang tidak hanya digunakan sebagai sarana jual beli, tetapi dimanfaatkan untuk alat penegakan hukum (law enforcement).
Lelang masuk ke Indonesia seiring dengan kedatangan bangsa Belanda melalui sebuah perusahaan dagang yang disebut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tahun 1750. Saat itu, VOC menciptakan sistem lelang untuk komoditas teh hasil bumi Indonesia, dimana sistem ini sampai sekarang masih digunakan dalam lelang teh di London[1].
Secara formal, lelang di Indonesia mulai diatur pemerintah Hindia Belanda tahun 1908 yaitu dengan diterbitkannya Vendu Reglement (Ordonansi tanggal 28 Februari 1908 Staatsblad 08-189, mulai berlaku tanggal 1 April 1908). Peraturan ini berlaku hingga saat ini sebagai satu-satunya “undang-undang” yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan lelang di Indonesia. Vendu Reglement yang lahir sebelum adanya Volksraad (semacam DPR pada zaman Hindia Belanda) telah membuat peraturan ini menjadi sumber hukum lelang tertinggi yang berlaku di Indonesia. Proses yang hampir sama juga dialami oleh HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia yang diperbaharui) dimana peraturan ini dianggap sebagai “Undang-Undang” Hukum Acara Perdata di Indonesia hingga saat ini.
Sejak lahirnya Vendu Reglement tahun 1908, unit lelang berada di lingkungan Departemen Keuangan Pemerintah Hindia Belanda (Inspeksi Urusan Lelang) dengan kedudukan dan tanggung jawab langsung di bawah Menteri Keuangan. Kemudian dalam perkembangannya setelah memasuki masa kemerdekaan RI, Unit Lelang Negara ada dalam pembinaan Direktorat Jenderal Pajak (1960) dengan nama Kantor Lelang Negeri dan tahun 1970 diganti nomenklaturnya menjadi Kantor Lelang Negara (KLN). Sejak tanggal 1 April 1990, Unit Lelang Negara bergabung dibawah Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) yang berganti nomenklaturnya menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) pada tahun 2000. Terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 445/PMK.01/2006 tentang Organisasi Departemen Keuangan, DJPLN berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan kantor-kantor operasionalnya berubah menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Pelaksanaan lelang mempunyai fungsi pelayanan publik dan fungsi pelayanan privat. Fungsi pelayanan publik dari Lembaga Lelang tercermin saat digunakan oleh aparatur negara dalam melaksanakan tugas kepemerintahan dalam rangka Penegakan Hukum/Law Enforcement seperti yang diamanatkan dalam berbagai undang-undang, antara lain: KUHAP, KUHPerdata, HIR, UU Panitia Urusan Piutang Negara No. 49 Prp. Tahun 1960, UU Kepabeanan No. 10 Tahun 1995, UU Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996, UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 tahun 1997, UU Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, dan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor 37 tahun 2004.
Fungsi pelayanan publik lainnya tercermin pada saat digunakan oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan barang milik negara/daerah (kekayaan negara), khsusnya pada saat dipindahtangankan dengan cara dijual. Penjualan barang milik negara/daerah (kekayaan negara) harus dilakukan secara lelang. Pilihan penjualan lelang adalah dalam rangka mengamankannya sekaligus guna memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance). Proses ini akan berdampak pada peningkatan efisiensi, tertib administrasi dan keterbukaan (tranparansi) pengelolaan kekayaan negara, serta menjamin akuntabilitas (vide: Pasal 48 UU Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004). Dari dua fungsi pelayanan publik tersebut pada akhirnya Lembaga Lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa PPh Pasal 25 dan BPHTB.
Sementara itu fungsi privat dari Lembaga Lelang tercermin saat lembaga lelang digunakan oleh siapapun yang memiliki barang dan bermaksud menjualnya secara lelang. Dalam fungi privat, Lembaga Lelang menjadi sarana/alat untuk memperlancar lalu lintas perdagangan barang.
Dari fungsi pelayanan publik dan privat tersebut pada akhirnya pelaksanaan lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan BPHTB sebagai fungsi budgetter.
----------------------------------------------------------------------------------------
[1] Kamarinjani., 1978. “Sejarah Perusahaan-perusahaan Teh di Indonesia 1824-1924”: LIPI